KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayahNya, sehingga saya selaku penyusun makalah ini diberi
kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul
“Akhirat”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu kelancaran terselesaikannya makalah ini.
Semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak mendapatkan
imbalan pahala dari Allah SWT. Saya berharap semoga apa yang ditulis di
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamua’alaikum Wr.Wb
Pontianak, 14 November 2012
Penyusun ,
Sri Murniati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………… 3
B. Permasalahan…………………………………………………………….. 3
C. Landasan Teori ……………………………………………….…………..3
BAB II PEMBAHASAN
A. Solusi…………………………………………………………………………. 6
B. Akhirat Tidak Kekal………………………………………………………..7
C. Beberapa Sebab Kesalahan Pemikiran …………………………………….9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 11
B. Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum muslimin rahimatumullah, Allah SWT membagi kehidupan menjadi dua
bagian yakni kehidupan dunia dan akhirat. Apa yang dilakukan manusia di
dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat enak dan tidaknya
kehidupan seseorang sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani
kehidupan di dunia ini. Manakala manusia beriman dan beramal shaleh
dalam kehidupan di dunia ia pun akan mendapatkan kenikmatan dalam
kehidupan di akhirat. Karena itu ketika seseorang berorientasi
memperoleh kebahagiaan di akhirat maka ia akan menjalani kehidupan di
dunia ini sebaik-baiknya sebagaimana ditentukan oleh Allah dan RasulNya.
Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat bukan berarti ia
tidak boleh menikmati kehidupan di dunia, hal ini karena sehala hal-hal
yang bersifat duniawi sangat disukai oleh manusia karenanya Islam tidak
pernah mengharamkan manusia untuk menikmati kehidupan duniawinya selama
tidak melanggar ketentuan Allah SWT apalagi sampai melupakan Allah SWT
sebagai pencipta dan pengatur dalam kehidupan ini. Manusia memang
memandang indah segala hal yang bersifat duniawi dan itu wajar-wajar
saja selama ia tidak mengabaikan tempat kembalinya.
B. Permasalahan
Apakah akhirat itu kekal apa tidak?
C. Landasan Teori
Akhirat (
Bahasa Arab: الآخرة; transliterasi:
Akhirah)
dipakai untuk mengistilahkan kehidupan alam baka (kekal) setelah
kematian/ sesudah dunia berakhir. Pernyataan peristiwa alam akhirat
sering kali diucapkan secara berulang-ulang pada beberapa ayat di dalam
Al Qur’an sebanyak 115 kali, yang mengisahkan tentang
Yawm al-Qiyâmah dan akhirat juga bagian penting dari
eskatologi Islam.
Akhirat dianggap sebagai salah satu dari
rukun iman yaitu: Percaya
Allah, percaya adanya
malaikat, percaya akan
kitab-kitab suci, percaya adanya
nabi dan
rasul
dan percaya takdir dan ketetapan. Menurut kepercayaan Islam, Allah akan
memainkan peranan, beratnya perbuatan masing-masing individu. Allah
akan memutuskan apakah orang tersebut di akhirat akan diletakkan di
Jahannam (neraka) atau
Jannah (surga). Kepercayaan ini telah disebut sebelumnya sebagai Hari Penghakiman dalam ajaran Islam.
Akhirat adalah
dimensi fisik dan hukum-hukum dunia nyata yang terjadi setelah dunia fana berakhir. Bagi mereka yang ber
agama samawi
meyakini bahwa kehidupan akhirat sebagai tempat dimana segala perbuatan
seseorang di dalam kehidupan dunia ini akan dibalas. Namun tidak
sedikit juga orang yang meragukan akan adanya kehidupan akhirat
(kehidupan setelah kematian). Mereka-mereka yang meyakini adanya
kehidupan akhirat ada yang menyatakan: ‘Mudahnya meyakini adanya
kehidupan setelah kematian sama mudahnya dengan meyakini adanya hari
esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, adanya memetik
setelah menanam’. Dengan meyakini adanya kehidupan akhirat setelah
kehidupan didunia ini akan menjaga seseorang dari bertindak sesuka
hatinya, karena ia yakin segala hal yang ia perbuat dalam kehidupannya
sekarang akan dituainya kemudian di alam setelah kematian.
Akhirat Itu Kekal
Kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kehidupan menuju akhirat. Ia
adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh
alam akhirat. Bahasa sederhananya, kehidupan dunia adalah medan
persediaan dan persiapan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal
sepanjang zaman. Ar-Raghib mengatakan,
“Kekal adalah terbebasnya sesuatu dari segala macam kerusakan dan tetap dalam keadaan semula.”
Kehidupan dunia ini merupakan jembatan penyeberangan, bukan tujuan
akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebagai sarana menuju kehidupan
yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Karena itu, Alquran menamainya
dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakikat kehidupan yang
sebenarnya.
Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya).
“
Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan
kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Kedua, dar al-qarar (tempat yang kekal
).
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Ghafir [40]: 39).
Ketiga, dar al-jaza’ (tempat pembalasan).
“
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal
menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar lagi
yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (QS an-Nur [24]: 25).
Keempat, dar al-muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertakwa).
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa:
‘Apakah yang
telah diturunkan oleh Tuhanmu?’Mereka menjawab: ‘(Allah telah
menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
mendapat (pembalasan) yang baik. Sesungguhnya kampung akhirat adalah
lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS an-Nahl [16]: 30).
Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan
yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada
kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana ini.
Sebab,
“Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang.” (QS ad-Dhuha [93]: 4)
Oleh karena itu,
“Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki
buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: ‘Inilah yang
pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan
mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 25). Wallahu a’lam.
ARGUMEN-ARGUMEN AGUS MUSTOFHA DALAM MENIADAKAN KEKEKALAN AKHIRAT
1. Argumen pertama
Penulis berargumen dengan ilmu astronomi yang berbicara tentang
peciptaan alam semesta sampai kehancurannya yang kesimpulannya bahwa
kiamat bumi akan terjadi sekitar beberapa ribu tahun lagi dan kehancuran
alam semesta sekitar 18 milyar tahun lagi (hlm. 100-101 dan 234).
2. Argumen kedua
Penulis membuat kerancuan dengan memahami sebagian ayat-ayat secara
keliru yang selanjutnya dia jadikan sebagai pendukung pemikirannya
tentang ketidakkekalan akhirat.
Ayat-ayat yang dipahaminya dengan keliru adalah surat Hud [11] ayat 106-108:
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُواْ فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ
وَشَهِيقٌخَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ
مَا شَاء رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُوَأَمَّا
الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ
السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi , kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia,
maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.
Penulis berkata dalam hlm. 234 setelah membawakan ayat-ayat di atas:
“Akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga
kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini juga mengalami
kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama,
kehancuran.”
BAB II
PEMBAHASAN
Hal 189 buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal” (TATK) dikatakan:
:”Bagaimana menjelaskan bahwa langit dan Bumi itu ada tujuh? Hal ini
memang sangat abstrak tetapi sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori
dimensi.” Penulis buku juga mengatakan kurang lebih bahwa langit pertama
yang berdimensi tiga ini tidak bertepi tapi terbatas oleh dimensi ke
empat. Keempat dimensi itulah yang merupakan titik tolak langit ke dua.
Begitu pula seterusnya untuk langit-langit berikutnya.
Di sini dia mendasarkan pendapatnya itu hanya pada satu dalil, yaitu
teori dimensi. Saya tidak menemukan satupun nash (yang benar-benar bisa
dipakai sebagai dalil) yang menyertai pendapatnya itu. Bagaimana mungkin
suatu kebenaran dalam hal yang ghoib hanya ditarik kesimpulannya
(di-inferensi) dari TEORI. Hal ini sangat fatal, karena dari pendapat
inilah disusun pendapat berikutnya bahwa surga neraka terletak di bumi
ini pula namun pada dimensi ke sembilan.
Tidak ada satupun nash pun yang secara qath’i dan muhkam menyatakan
bahwa surga neraka berada di bumi ini pula namun pada dimensi ke
sembilan. Semua yang Sdr. Agus ungkapkan hanya berdasarkan pada teori
saja. Kalaupun dia mengungkapkan dalil Al A’raf ayat 25 “Katakanlah: di
Bumi itulah kalian hidup, dan di Bumi itu kalian mati, dan dari Bumi itu
pula kalian akan dibangkitkan” itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa
Akhirat, Surga dan Neraka berada di Bumi. Ayat itu hanya menunjukkan
urut-urutan hidup di atas bumi, mati di atas bumi (dan dikubur di dalam
bumi) kemudian dibangkitkan DARI dalam bumi. Masalah setelah
dibangkitkan DARI bumi itu manusia akan ditaruh di akhirat mana, Allah
tidak mengatakannya.
Allah tidak mengatakan fihaa tukhrajuun (di bumi kalian dibangkitkan)
tapi minhaa tukhrajun (dari bumi kalian dibangkitkan). Di sini kita
dapat mengetahui kesalahan Sdr. Agus dalam mengambil kesimpulan. Seperti
misalnya pada halaman 191 buku TATK di mana dia mengatakan berdasarkan
Al A’raf: 25 bahwa Di Bumi itulah kita hidup, di Bumi itu kita mati, dan
DI Bumi itu pula kita dibangkitkan.
Kemudian Sdr. Agus membuat kesalahan lain ketika menjadikan ayat-ayat
yang menggambarkan surga sebagai dalil bahwa surga berada di Bumi. Ini
terlihat pada buku TATK halaman 193 sampai 196. Kalau diperhatikan,
semua ayat-ayat yang disebutkan hanya menggambarkan Surga sebagai suatu
tempat yang menyerupai kondisi ideal dari Bumi. Tapi tidak ada satu pun
ayat yang menyebutkan bahwa suatu tempat yang menyerupai Bumi itu adalah
Bumi itu sendiri dalam dimensi yang lain. Kemiripan tempat tidak
mengharuskan kesamaan tempat. Kalau Allah bisa menciptakan Bumi yang
tidak ideal, tentunya Allah juga bisa dengan mudah menciptakan tempat
lain di luar Bumi yang mirip Bumi dengan versi yang lebih sempurna,
lengkap dengan sungainya, gunungnya, siang-malamnya dan lain-lainnya.
- a. Solusi
Imani saja semua nash tanpa ta’til, ta’wil, takyif, dan seterusnya.
Itulah yang Insya Allah lebih selamat. Kita tidak berhak untuk
menta’wilnya sementara Rasulullah sebagai manusia yang paling mengetahui
dalam masalah ini tidak menta’wilnya dan Para Shahabat Rasul sebagai
generasi terbaik dalam pemahaman agama tidak menta’wilnya.
Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya lebih tahu dari Rasulullah dalam hal
ini sementara Rasulullah adalah orang yang paling ‘alim dalam hal yang
ghoib.
Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah
sebenarnya sudah tahu (bahwa Surga dan Neraka di Bumi) namun tidak
mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia,
sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah.
b. Akhirat tidak kekal.
Agus memberikan dalil pada halaman 233 tentang ketidakkekalan akhirat
dengan QS Huud ayat 106-108. Memang bacaan kita akan Al Qur’an harus
secara komprehensif. Namun permasalahannya tidak sesimpel ayat Al Qur’an
akan dikhususkan dengan ayat Al Qur’an lain. Kita juga harus mampu
memahami bagaimana tafsir hadits, tafsir para sahabat dan tafsir para
ulama pembela Assunnah atas ayat Al Qur’an tersebut.
Memang – setahu saya – Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim rahimahumallah
berpendapat bahwa Neraka tidak kekal. Namun pendapat mereka itu hanya
terbatas pada Neraka saja, bukan pada konsep Akhirat secara keseluruhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa surga dan neraka –
dua-duanya – tidak kekal, adalah pendapat baru yang belum dikenal
sebelumnya.
Bagaimana mungkin kita sebagai pengikut Rasulullah akan mengatakan
bahwa akhirat tidak kekal sementara Rasulullah sendiri telah mengatakan
dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang bagus
sebagaimana dikatakan oleh Al Mundziri dan telah dikatakan shahih oleh
Ibnu Hibban (2614) dan Ahmad (2/261) sebagai berikut :
“
Kelak maut akan didatangkan pada hari kiamat, lalu ia berhenti
di atas jembatan (shirat). Maka dipanggillah penghuni surga, ‘Hai
penghuni surga!’ Mereka pun nampak ketakutan untuk keluar dari tempat
mereka sekarang. Lalu dipanggillah penghuni neraka, ‘Hai penghuni
neraka!’ Mereka pun muncul kegirangan dan riang gembira keluar dari
tempat mereka sekarang. Lantas ditanyakanlah kepada mereka, ‘Tahukah
kalian siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kematian!’ Selanjutnya sang
kematian pun diikat dan disembelih di atas jembatan (shirath). Kemudian
dikatakanlah kepada masing-masing kelompok, ‘Kekallah di dalam apa-apa
yang kalian temukan, tidak akan ada kematian lagi di dalamnya
selama-lamanya!’”
Hadits di atas didukung oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya berikut ini :
“
Allah memasukkan penghuni surga ke surga dan penghuni neraka ke
neraka. Kemudian bangkitlah seorang muadzin (orang yang berseru) di
antara mereka sembari berseru, ‘Hai penduduk surga, tidak ada kematian
(di surga)! Hai penduduk neraka, tidak ada kematian (di neraka),
masing-masing kekal di dalamnya!”
Kalau kita mengacu pada tafsir Ibnu Katsir (murid dari Ibnu
Taimiyyah), dimana tafsirnya termasuk tafsir paling standar dan biasa
dipakai oleh beginner tholabul ‘ilm sampai advanced ulama’, kita bisa
mendapat penjelasan tentang bagaimana menafsirkan dan apa penafsiran
“maadaamatissamawatu wal ardhu” yang benar.
Di dalamnya misalnya kita dapati penafsiran Imam Abu Ja’far Ibn Jarir bahwa ungkapan “
maadaamatissamawatu wal ardhu”
adalah sebagaimana kebiasaan orang Arab untuk menegasan akan kekekalan
Akhirat. Dalam arti bahwa Allah menurunkan pertama kali Al Qur’an pada
orang Arab dalam bahasa yang dipahami dan biasa dipakai orang Arab. Dan
oleh karena itu kita harus memahami sebagaimana orang Arab waktu itu
memahami pertama kali.Di dalam tafsir ibn Katsir juga dikemukakan
berbagai penafsiran lain selain di atas. Namun tidak ada satupun di
antara penafsiran mu’tabar itu yang mengatakan bahwa “
maadaamatissamawatu wal ardhu” merupakan hujjah ketidakkekalan Akhirat.
Oleh karena itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Sdr Agus telah
membuat-buat ide baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah, para
sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Padahal di masa merekalah pemahaman
agama yang paling murni dan benar.Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya
lebih tahu dari Rasulullah dalam hal ini sementara Rasulullah adalah
orang yang paling ‘alim dalam hal yang ghoib.
Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah
sebenarnya sudah tahu (bahwa akhirat itu tidak kekal) namun tidak
mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia,
sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah. Secara logika
juga, “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebenarnya lebih bergantung
pada asumsi apa yang SUDAH ada di dalam pikiran kita.
Seandainya seseorang SUDAH mengasumsikan bahwa Akhirat itu tidak kekal
(seperti Sdr. Agus) maka dia pasti mengasumsikan bahwa samaawaat dan
ardh yang dimaksud di ayat itu adalah samaawaat dan ardh yang itu-itu
saja, yaitu samaawaat dan ardh dunia yang kita rasakan sekarang namun
dalam dimensi yang lain. Dan karena samaawaat dan ardh dunia maka tidak
kekal. Ini membuat seolah-olah kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu”
itu sebagai kata yang memperkuat ketidakkekalan Akhirat.
Namun seandainya kita SUDAH mengasumsikan (sesuai nash-nash yang
muhkam) bahwa Akhirat itu kekal abadi selama-lamanya (sebagai ketetapan
dari Allah yang Maha Kekal yang menentukan kekekalan), maka kata
“maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu seolah-olah hanya menegaskan
tentang samaawaat dan ardh yang ada di Akhirat nanti. Dan karena Akhirat
sudah diimani bersifat kekal maka samaawaat dan ardh yang ada di
Akhirat nanti pun pasti ikut kekal. Maka jadilah kata
“maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebagai penegasan kekekalan
Akhirat.
Syaikh Asshun’ani rahimahullah pernah menjelaskan mengenai
“maadaamatissamaawaatu wal ardhu” dalam manuskripnya yang telah ditahqiq
oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dan diterjemahkan ke bahasa
Indonesia dengan judul “Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf Tentang
Keabadian Neraka” ketika membahas mengenai kefanaan atau keabadian
neraka (sekali lagi saya ingatkan bahwa perdebatan yang dikenal di
kalangan ulama adalah mengenai ‘apakah neraka itu abadi atau fana’,
bukan mengenai konsep keabadian akhirat secara umum) sebagai berikut :
Menurut saya, pendapat ini lebih didasarkan pada asumsi bahwa yang
dimaksudkan mereka dengan langit dan bumi dalam ayat tersebut adalah
langit dan bumi dunia, sehingga ayat tersebut berarti “
selama kadar
kekekalan dunia”. Namun jika mereka asumsikan hal itu sebagai langit dan
bumi akhirat, maka ujaran “kecuali jika Allah menghendaki pertambahan
masa keduanya” tidak akan terlontar, sebab keduanya abadi dan tidak
mungkin dibayangkan ada pertambahan bagi sesuatu yang abadi. Jadi, yang
tepat adalah mengasumsikan langit dan bumi dalam ayat tersebut sebagai
langit-langit dan bumi akhirat, sebab ayat-ayat pengekalan bagi kedua
golongan (yang celaka dan bahagia) memutuskan keharusan kekekalan bumi
dan langitnya, dimana mau tidak mau harus ada sesuatu yang berada di
bawah dan di atas mereka, dan itulah yang dimaksud dengan langit dan
bumi akhirat. Firman Allah “selama ada langit dan bumi” pun juga
mengunggulkan hal itu, sebab bumi dan langit-langit dunia tentu telah
binasa (seiring dengan binasanya dunia oleh kiamat). Jika yang
dimaksudkan demikian (bumi dan langit dunia), maka akan dikatakan “
maakaanatissamaawaatu wal ardhu” bukan “
maadaamatissamaawaatu wal ardhu”.
c. Bebarapa sebab kesalahan pemikiran:
Sdr. Agus masih kurang memahami konsep kekekalan Allah dan akhirat.
Dia masih membenturkan vis a vis konsep kekekalan Akhirat dengan dengan
kekekalan Allah sebagai dua konsep yang bertentangan. Padahal sebenarnya
konsep kekekalan tidak bisa dilihat selinear itu.
Sebenarnya, sifat kekalnya Akhirat bukanlah sifat yang “wajib bi dzatihi” namun bergantung pada “
masyiatullah”
(CMIIW). Artinya Akhirat kekal bukan karena Akhirat itu sendiri yang
kekal, namun karena Allah menghendaki Akhirat itu kekal. Artinya
kekekalan Akhirat adalah bergantung pada Allah. Sehingga sangatlah tidak
pas kalau Sdr. Agus menabrakkan kekekalan Akhirat dengan kekekalan
Allah sehingga seolah-olah jika Allah Kekal maka Akhirat harus tidak
kekal, dan jika ada orang yang menganggap Akhirat kekal berarti orang
itu menyekutukan sifat yang merupakan kekhususan Allah.
Secara mudah bisa dikatakan bahwa kalau memang Allah yang Maha Kekal
berkehendak agar Akhirat kekal maka tidak ada yang bisa menentangnya!
Pada kesempatan bedah buku di Masjid BI, Sdr. Agus mengatakan bahwa
dasar dia menulis buku ini adalah karena keprihatinannya akan fenomena
(menurutnya) orang yang beribadah karena mengharap Surga dan takut
Neraka saja, bukan karena mengharap cinta Allah dan takut pada murka
Allah.
Sesungguhnya saya tidak menjumpai konsep pemisahan antara cinta Allah
dan Surga serta antara murka Allah dan Neraka kecuali dalam agama Sufi.
Rasulullah, Para Shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik tidaklah pernah dipusingkan dengan pembedaan tersebut seperti
orang-orang Sufi memusingkannya. Maka di antara mereka para Shahabat,
dan orang-orang shalih ada yang menangis dan pingsan ketika mendengar
mengenai Surga dan Neraka. Mereka begitu berharap akan Surga dan takut
pada Neraka. Tapi apakah berarti mereka tidak cinta dan takut pada
Allah?
Rasulullah juga memerintahkan kita untuk berlindung dari siksa kubur,
siksa neraka, mengharap akan Surga, mengharap akan Ridha Allah. Semua
Rasulullah sebutkan tanpa membeda-bedakan. Kalau memang kita tidak
berhak untuk takut pada neraka, berarti Rasulullah telah melakukan hal
yang sia-sia ketika beliau memerintahkan kita untuk mengulang-ulang doa
setelah shalawat pada saat duduk tawarruk di akhir shalat. Sungguh
kezaliman besar pada sunnah Rasul.
Intinya adalah kita tidak usah dipusingkan dengan pembedaan antara
Surga Neraka, Ridha dan Murka Allah. Surga adalah perwujudan masyiah
(kehendak) Allah atas Ridha-Nya. Neraka adalah perwujudan masyiah Allah
atas murkanya. Kalau seseorang ingin masuk Surga dan menghindar dari
Neraka, pada hakikatnya dia sedang berlari meninggalkan Murka Allah
menuju Ridha Allah.
Lagi pula sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada pembuktian
ilmiah bahwa fenomena orang yang beribadah semata hanya karena mengharap
surga dan menghindar dari neraka saja. Sepanjang pengetahuan saya
tentang ulama-ulama sholih dan atsar-atsar (peninggalan) mereka, tidak
ada di antara mereka yang membeda-bedakan secara khusus, ini untuk
Allah, ini untuk surga, ini untuk neraka, kecuali sedikit sekali di
antara sufiyyun yang tidak bisa digolongkan sebagai ulama dan sholihin.
Para ulama ahlussunnah itu dalam beribadah, mereka beribadah saja,
mereka mengharap ridha Allah, mereka meminta surga dan berusaha
menghindar dari neraka. Sebegitu simpel, lalu mengapa harus dipersulit
dengan putaran lidah penganut filsafat sufi?
Saran saya untuk kita semua Pelajarilah Islam dari Al Qur’an dan
Assunnah seperti apa yang dipahami oleh generasi terbaik Islam, para
Shahabat, Tabiin dan tabiut Tabiin. Berinteraksilah dengan
pemahaman-pemahaman mereka melebihi intensitas kita dalam mempelajari
logika dan Astronomi. Jauhilah pemahaman-pemahaman baru dalam hal Agama.
Sebegitu mudah, lalu mengapa kita harus mencampur adukkan yang simpel
dengan kerumitan filsafat sufi?
Logika dan ilmu pengetahuan kita bukanlah tempat yang pas untuk
mengeksplorasi hal-hal yang ghoib. Dalam hal ini kita harus secara murni
dan konsekuen memakai nash. Gunakan logika dan ilmu pengetahuan hanya
sampai tingkat tadabbur akan penciptaan Alam ini dan keyakinan bahwa
hanya Allah lah yang mampu menciptakan semua ini (seperti yang yang
telah dituntunkan oleh Nash-nash tentang tadabbur), yaitu tentang begitu
besarnya matahari, begitu luasnya tata surya, bima sakti dan lain-lain.
Dan dari semua itu timbulkan rasa takut pada Allah, pada murka Allah
dan rasa takut dijatuhkan ke Neraka karena murka Allah.
Teori sains bersifat relatif. Sesuatu yang saat ini seolah seperti
kebenaran yang nyata, bisa jadi kelak akan dibantah dengan bukti yang
lebih kuat. Pengetahuan sains manusia tentang alam semesta ini,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para astronom, baru mencapai satu
persen dari total alam semesta ini. Masih ada 99 persen alam semesta ini
beserta fenomenanya yang belum terjamah ilmu pengetahuan manusia. Lalu
apakah kita hendak menggunakan yang satu persen itu dan yang relatif
itu, untuk mengeksplor dan bahkan menjustifikasi sesuatu yang secara
absolut diungkapkan dalam nash-nash agama?Bagaimana mungkin yang relatif
menentukan yang absolut. Bagaimana mungkin yang nisbi menentukan yang
mutlak.
Yang perlu kita lakukan adalah tetapkan saja Surga dan Neraka seperti
apa yang Allah katakan, yang Rasulullah katakan, dan yang para Shahabat
pahami. Tetapkan itu dalam keimanan kita sebagai sesuatu yang MUTLAK
pasti akan kita alami, persis seperti apa yang Allah katakan, Rasulullah
katakan dan para Shahabat pahami. Kemudian ketika kita belajar sains,
tentang segala macam teorinya. Gunakan semua itu untuk merenungi
kebesaran Allah dan menimbulkan rasa takut pada-Nya. Seperti itulah
sikap yang Insya Allah terbaik bagi kita.
BAB II
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Dengan kita mempelajari tentang kehidupan manusia menurut Islam,
dihaapkan dapat menjadikan hidup kita lebih optimis, selamat di dunia
dan akhirat. dan kita sebagai manusia tahu bahwa setelah kehidupan di
dunia ada kehidupan yang sesungguhnya yaitu kehidupan dunia akhirat dan
kegidupan setelah hari kiamat. Dan bagi orang yang sholeh yang belum
berhasil mencapai kebahagiaan hidup di dunia maka, ia yakin bahwa hal
itu akan tercapai di akhirat. Dengan demikian apapun yang dialami dalam
kehidupan dunia ini tidak akan menimbulkan kekecawaan. Dan percayalah
bahwa hari akhir itu kekal.
- B. Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Anonim. 2011. Kehidupan Akhirat (online) (
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia- islam/hikmah/11/03/16/169814-kehidupan-akhira) Diakses tanggal 14 November 2012
Anonim. 2012. Terhyata Akhirat Tidak Kekal. (online) (
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/07/08/agus-musthofa-ternyata-akhirat-tidak-kekal/) Diakses tanggal 14 November 2012
Faizin. 2007. Bantahan terhadap Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal. (online) (
http://faidzin.wordpress.com/2007/09/04/bantahan-terhadap-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal-karangan-agus-mustofa/)