Laman

Jumat, 21 Desember 2012

Makalah Agama tentang Akhirat

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga saya selaku penyusun makalah ini diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Akhirat”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran terselesaikannya makalah ini.
Semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak mendapatkan imbalan pahala dari Allah SWT. Saya berharap semoga apa yang ditulis di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamua’alaikum Wr.Wb
Pontianak, 14 November 2012
Penyusun ,
Sri Murniati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………… 3
B.  Permasalahan…………………………………………………………….. 3
C. Landasan Teori ……………………………………………….…………..3
BAB II PEMBAHASAN
A. Solusi…………………………………………………………………………. 6
B. Akhirat Tidak Kekal………………………………………………………..7
C. Beberapa Sebab Kesalahan Pemikiran …………………………………….9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………….   11
B. Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………11


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum muslimin rahimatumullah, Allah SWT membagi kehidupan menjadi dua bagian yakni kehidupan dunia dan akhirat. Apa yang dilakukan manusia di dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat enak dan tidaknya kehidupan seseorang sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia ini. Manakala manusia beriman dan beramal shaleh dalam kehidupan di dunia ia pun akan mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan di akhirat. Karena itu ketika seseorang berorientasi memperoleh kebahagiaan di akhirat maka ia akan menjalani kehidupan di dunia ini sebaik-baiknya sebagaimana ditentukan oleh Allah dan RasulNya. Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat bukan berarti ia tidak boleh menikmati kehidupan di dunia, hal ini karena sehala hal-hal yang bersifat duniawi sangat disukai oleh manusia karenanya Islam tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati kehidupan duniawinya selama tidak melanggar ketentuan Allah SWT apalagi sampai melupakan Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur dalam kehidupan ini. Manusia memang memandang indah segala hal yang bersifat duniawi dan itu wajar-wajar saja selama ia tidak mengabaikan tempat kembalinya.
B. Permasalahan
Apakah akhirat itu kekal apa tidak?
C. Landasan Teori
             Akhirat (Bahasa Arab: الآخرة; transliterasi: Akhirah) dipakai untuk mengistilahkan kehidupan alam baka (kekal) setelah kematian/ sesudah dunia berakhir. Pernyataan peristiwa alam akhirat sering kali diucapkan secara berulang-ulang pada beberapa ayat di dalam Al Qur’an sebanyak 115 kali, yang mengisahkan tentang Yawm al-Qiyâmah dan akhirat juga bagian penting dari eskatologi Islam.
Akhirat dianggap sebagai salah satu dari rukun iman yaitu: Percaya Allah, percaya adanya malaikat, percaya akan kitab-kitab suci, percaya adanya nabi dan rasul dan percaya takdir dan ketetapan. Menurut kepercayaan Islam, Allah akan memainkan peranan, beratnya perbuatan masing-masing individu. Allah akan memutuskan apakah orang tersebut di akhirat akan diletakkan di Jahannam (neraka) atau Jannah (surga). Kepercayaan ini telah disebut sebelumnya sebagai Hari Penghakiman dalam ajaran Islam.
Akhirat adalah dimensi fisik dan hukum-hukum dunia nyata yang terjadi setelah dunia fana berakhir. Bagi mereka yang beragama samawi meyakini bahwa kehidupan akhirat sebagai tempat dimana segala perbuatan seseorang di dalam kehidupan dunia ini akan dibalas. Namun tidak sedikit juga orang yang meragukan akan adanya kehidupan akhirat (kehidupan setelah kematian). Mereka-mereka yang meyakini adanya kehidupan akhirat ada yang menyatakan: ‘Mudahnya meyakini adanya kehidupan setelah kematian sama mudahnya dengan meyakini adanya hari esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, adanya memetik setelah menanam’. Dengan meyakini adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan didunia ini akan menjaga seseorang dari bertindak sesuka hatinya, karena ia yakin segala hal yang ia perbuat dalam kehidupannya sekarang akan dituainya kemudian di alam setelah kematian.
Akhirat Itu Kekal
Kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kehidupan menuju akhirat. Ia adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh alam akhirat. Bahasa sederhananya, kehidupan dunia adalah medan persediaan dan persiapan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal sepanjang zaman. Ar-Raghib mengatakan, “Kekal adalah terbebasnya sesuatu dari segala macam kerusakan dan tetap dalam keadaan semula.”

Kehidupan dunia ini merupakan jembatan penyeberangan, bukan tujuan akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebagai sarana menuju kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Karena itu, Alquran menamainya dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya).
Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Kedua, dar al-qarar (tempat yang kekal).
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Ghafir [40]: 39).
Ketiga, dar al-jaza’ (tempat pembalasan).
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (QS an-Nur [24]: 25).
Keempat, dar al-muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertakwa).
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’Mereka menjawab: ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS an-Nahl [16]: 30).
Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana ini. Sebab, “Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang.” (QS ad-Dhuha [93]: 4)
Oleh karena itu, “Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 25). Wallahu a’lam.
ARGUMEN-ARGUMEN AGUS MUSTOFHA DALAM MENIADAKAN KEKEKALAN AKHIRAT
1.       Argumen pertama
Penulis berargumen dengan ilmu astronomi yang berbicara tentang peciptaan alam semesta sampai kehancurannya yang kesimpulannya bahwa kiamat bumi akan terjadi sekitar beberapa ribu tahun lagi dan kehancuran alam semesta sekitar 18 milyar tahun lagi (hlm. 100-101 dan 234).
2.       Argumen kedua
Penulis membuat kerancuan dengan memahami sebagian ayat-ayat secara keliru yang selanjutnya dia jadikan sebagai pendukung pemikirannya tentang ketidakkekalan akhirat.
Ayat-ayat yang dipahaminya dengan keliru adalah surat Hud [11] ayat 106-108:

فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُواْ فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ۝خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ۝وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ

Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi , kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Penulis berkata dalam hlm. 234 setelah membawakan ayat-ayat di  atas: “Akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini juga mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran.”



BAB II
PEMBAHASAN
Hal 189 buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal” (TATK) dikatakan: :”Bagaimana menjelaskan bahwa langit dan Bumi itu ada tujuh? Hal ini memang sangat abstrak tetapi sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori dimensi.” Penulis buku juga mengatakan kurang lebih bahwa langit pertama yang berdimensi tiga ini tidak bertepi tapi terbatas oleh dimensi ke empat. Keempat dimensi itulah yang merupakan titik tolak langit ke dua. Begitu pula seterusnya untuk langit-langit berikutnya.
Di sini dia mendasarkan pendapatnya itu hanya pada satu dalil, yaitu teori dimensi. Saya tidak menemukan satupun nash (yang benar-benar bisa dipakai sebagai dalil) yang menyertai pendapatnya itu. Bagaimana mungkin suatu kebenaran dalam hal yang ghoib hanya ditarik kesimpulannya (di-inferensi) dari TEORI. Hal ini sangat fatal, karena dari pendapat inilah disusun pendapat berikutnya bahwa surga neraka terletak di bumi ini pula namun pada dimensi ke sembilan.
Tidak ada satupun nash pun yang secara qath’i dan muhkam menyatakan bahwa surga neraka berada di bumi ini pula namun pada dimensi ke sembilan. Semua yang Sdr. Agus ungkapkan hanya berdasarkan pada teori saja. Kalaupun dia mengungkapkan dalil Al A’raf ayat 25 “Katakanlah: di Bumi itulah kalian hidup, dan di Bumi itu kalian mati, dan dari Bumi itu pula kalian akan dibangkitkan” itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Akhirat, Surga dan Neraka berada di Bumi. Ayat itu hanya menunjukkan urut-urutan hidup di atas bumi, mati di atas bumi (dan dikubur di dalam bumi) kemudian dibangkitkan DARI dalam bumi. Masalah setelah dibangkitkan DARI bumi itu manusia akan ditaruh di akhirat mana, Allah tidak mengatakannya.
Allah tidak mengatakan fihaa tukhrajuun (di bumi kalian dibangkitkan) tapi minhaa tukhrajun (dari bumi kalian dibangkitkan). Di sini kita dapat mengetahui kesalahan Sdr. Agus dalam mengambil kesimpulan. Seperti misalnya pada halaman 191 buku TATK di mana dia mengatakan berdasarkan Al A’raf: 25 bahwa Di Bumi itulah kita hidup, di Bumi itu kita mati, dan DI Bumi itu pula kita dibangkitkan.
Kemudian Sdr. Agus membuat kesalahan lain ketika menjadikan ayat-ayat yang menggambarkan surga sebagai dalil bahwa surga berada di Bumi. Ini terlihat pada buku TATK halaman 193 sampai 196. Kalau diperhatikan, semua ayat-ayat yang disebutkan hanya menggambarkan Surga sebagai suatu tempat yang menyerupai kondisi ideal dari Bumi. Tapi tidak ada satu pun ayat yang menyebutkan bahwa suatu tempat yang menyerupai Bumi itu adalah Bumi itu sendiri dalam dimensi yang lain. Kemiripan tempat tidak mengharuskan kesamaan tempat. Kalau Allah bisa menciptakan Bumi yang tidak ideal, tentunya Allah juga bisa dengan mudah menciptakan tempat lain di luar Bumi yang mirip Bumi dengan versi yang lebih sempurna, lengkap dengan sungainya, gunungnya, siang-malamnya dan lain-lainnya.
  1. a.      Solusi
Imani saja semua nash tanpa ta’til, ta’wil, takyif, dan seterusnya. Itulah yang Insya Allah lebih selamat. Kita tidak berhak untuk menta’wilnya sementara Rasulullah sebagai manusia yang paling mengetahui dalam masalah ini tidak menta’wilnya dan Para Shahabat Rasul sebagai generasi terbaik dalam pemahaman agama tidak menta’wilnya.
Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya lebih tahu dari Rasulullah dalam hal ini sementara Rasulullah adalah orang yang paling ‘alim dalam hal yang ghoib.
Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah sebenarnya sudah tahu (bahwa Surga dan Neraka di Bumi) namun tidak mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia, sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah.
b. Akhirat tidak kekal.
Agus memberikan dalil pada halaman 233 tentang ketidakkekalan akhirat dengan QS Huud ayat 106-108. Memang bacaan kita akan Al Qur’an harus secara komprehensif. Namun permasalahannya tidak sesimpel ayat Al Qur’an akan dikhususkan dengan ayat Al Qur’an lain. Kita juga harus mampu memahami bagaimana tafsir hadits, tafsir para sahabat dan tafsir para ulama pembela Assunnah atas ayat Al Qur’an tersebut.
Memang – setahu saya – Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim rahimahumallah berpendapat bahwa Neraka tidak kekal. Namun pendapat mereka itu hanya terbatas pada Neraka saja, bukan pada konsep Akhirat secara keseluruhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa surga dan neraka – dua-duanya – tidak kekal, adalah pendapat baru yang belum dikenal sebelumnya.
Bagaimana mungkin kita sebagai pengikut Rasulullah akan mengatakan bahwa akhirat tidak kekal sementara Rasulullah sendiri telah mengatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang bagus sebagaimana dikatakan oleh Al Mundziri dan telah dikatakan shahih oleh Ibnu Hibban (2614) dan Ahmad (2/261) sebagai berikut :
Kelak maut akan didatangkan pada hari kiamat, lalu ia berhenti di atas jembatan (shirat). Maka dipanggillah penghuni surga, ‘Hai penghuni surga!’ Mereka pun nampak ketakutan untuk keluar dari tempat mereka sekarang. Lalu dipanggillah penghuni neraka, ‘Hai penghuni neraka!’ Mereka pun muncul kegirangan dan riang gembira keluar dari tempat mereka sekarang. Lantas ditanyakanlah kepada mereka, ‘Tahukah kalian siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kematian!’ Selanjutnya sang kematian pun diikat dan disembelih di atas jembatan (shirath). Kemudian dikatakanlah kepada masing-masing kelompok, ‘Kekallah di dalam apa-apa yang kalian temukan, tidak akan ada kematian lagi di dalamnya selama-lamanya!’”
Hadits di atas didukung oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya berikut ini :
Allah memasukkan penghuni surga ke surga dan penghuni neraka ke neraka. Kemudian bangkitlah seorang muadzin (orang yang berseru) di antara mereka sembari berseru, ‘Hai penduduk surga, tidak ada kematian (di surga)! Hai penduduk neraka, tidak ada kematian (di neraka), masing-masing kekal di dalamnya!”
Kalau kita mengacu pada tafsir Ibnu Katsir (murid dari Ibnu Taimiyyah), dimana tafsirnya termasuk tafsir paling standar dan biasa dipakai oleh beginner tholabul ‘ilm sampai advanced ulama’, kita bisa mendapat penjelasan tentang bagaimana menafsirkan dan apa penafsiran “maadaamatissamawatu wal ardhu” yang benar.
Di dalamnya misalnya kita dapati penafsiran Imam Abu Ja’far Ibn Jarir bahwa ungkapan “maadaamatissamawatu wal ardhu” adalah sebagaimana kebiasaan orang Arab untuk menegasan akan kekekalan Akhirat. Dalam arti bahwa Allah menurunkan pertama kali Al Qur’an pada orang Arab dalam bahasa yang dipahami dan biasa dipakai orang Arab. Dan oleh karena itu kita harus memahami sebagaimana orang Arab waktu itu memahami pertama kali.Di dalam tafsir ibn Katsir juga dikemukakan berbagai penafsiran lain selain di atas. Namun tidak ada satupun di antara penafsiran mu’tabar itu yang mengatakan bahwa “maadaamatissamawatu wal ardhu” merupakan hujjah ketidakkekalan Akhirat.
Oleh karena itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Sdr Agus telah membuat-buat ide baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah, para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Padahal di masa merekalah pemahaman agama yang paling murni dan benar.Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya lebih tahu dari Rasulullah dalam hal ini sementara Rasulullah adalah orang yang paling ‘alim dalam hal yang ghoib.
Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah sebenarnya sudah tahu (bahwa akhirat itu tidak kekal) namun tidak mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia, sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah. Secara logika juga, “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebenarnya lebih bergantung pada asumsi apa yang SUDAH ada di dalam pikiran kita.
Seandainya seseorang SUDAH mengasumsikan bahwa Akhirat itu tidak kekal (seperti Sdr. Agus) maka dia pasti mengasumsikan bahwa samaawaat dan ardh yang dimaksud di ayat itu adalah samaawaat dan ardh yang itu-itu saja, yaitu samaawaat dan ardh dunia yang kita rasakan sekarang namun dalam dimensi yang lain. Dan karena samaawaat dan ardh dunia maka tidak kekal. Ini membuat seolah-olah kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebagai kata yang memperkuat ketidakkekalan Akhirat.
Namun seandainya kita SUDAH mengasumsikan (sesuai nash-nash yang muhkam) bahwa Akhirat itu kekal abadi selama-lamanya (sebagai ketetapan dari Allah yang Maha Kekal yang menentukan kekekalan), maka kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu seolah-olah hanya menegaskan tentang samaawaat dan ardh yang ada di Akhirat nanti. Dan karena Akhirat sudah diimani bersifat kekal maka samaawaat dan ardh yang ada di Akhirat nanti pun pasti ikut kekal. Maka jadilah kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebagai penegasan kekekalan Akhirat.
Syaikh Asshun’ani rahimahullah pernah menjelaskan mengenai “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” dalam manuskripnya yang telah ditahqiq oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf Tentang Keabadian Neraka” ketika membahas mengenai kefanaan atau keabadian neraka (sekali lagi saya ingatkan bahwa perdebatan yang dikenal di kalangan ulama adalah mengenai ‘apakah neraka itu abadi atau fana’, bukan mengenai konsep keabadian akhirat secara umum) sebagai berikut : Menurut saya, pendapat ini lebih didasarkan pada asumsi bahwa yang dimaksudkan mereka dengan langit dan bumi dalam ayat tersebut adalah langit dan bumi dunia, sehingga ayat tersebut berarti “selama kadar kekekalan dunia”. Namun jika mereka asumsikan hal itu sebagai langit dan bumi akhirat, maka ujaran “kecuali jika Allah menghendaki pertambahan masa keduanya” tidak akan terlontar, sebab keduanya abadi dan tidak mungkin dibayangkan ada pertambahan bagi sesuatu yang abadi. Jadi, yang tepat adalah mengasumsikan langit dan bumi dalam ayat tersebut sebagai langit-langit dan bumi akhirat, sebab ayat-ayat pengekalan bagi kedua golongan (yang celaka dan bahagia) memutuskan keharusan kekekalan bumi dan langitnya, dimana mau tidak mau harus ada sesuatu yang berada di bawah dan di atas mereka, dan itulah yang dimaksud dengan langit dan bumi akhirat. Firman Allah “selama ada langit dan bumi” pun juga mengunggulkan hal itu, sebab bumi dan langit-langit dunia tentu telah binasa (seiring dengan binasanya dunia oleh kiamat). Jika yang dimaksudkan demikian (bumi dan langit dunia), maka akan dikatakan “maakaanatissamaawaatu wal ardhu” bukan “maadaamatissamaawaatu wal ardhu”.
c. Bebarapa sebab kesalahan pemikiran:
Sdr. Agus masih kurang memahami konsep kekekalan Allah dan akhirat. Dia masih membenturkan vis a vis konsep kekekalan Akhirat dengan dengan kekekalan Allah sebagai dua konsep yang bertentangan. Padahal sebenarnya konsep kekekalan tidak bisa dilihat selinear itu.
Sebenarnya, sifat kekalnya Akhirat bukanlah sifat yang “wajib bi dzatihi” namun bergantung pada “masyiatullah” (CMIIW). Artinya Akhirat kekal bukan karena Akhirat itu sendiri yang kekal, namun karena Allah menghendaki Akhirat itu kekal. Artinya kekekalan Akhirat adalah bergantung pada Allah. Sehingga sangatlah tidak pas kalau Sdr. Agus menabrakkan kekekalan Akhirat dengan kekekalan Allah sehingga seolah-olah jika Allah Kekal maka Akhirat harus tidak kekal, dan jika ada orang yang menganggap Akhirat kekal berarti orang itu menyekutukan sifat yang merupakan kekhususan Allah.
Secara mudah bisa dikatakan bahwa kalau memang Allah yang Maha Kekal berkehendak agar Akhirat kekal maka tidak ada yang bisa menentangnya! Pada kesempatan bedah buku di Masjid BI, Sdr. Agus mengatakan bahwa dasar dia menulis buku ini adalah karena keprihatinannya akan fenomena (menurutnya) orang yang beribadah karena mengharap Surga dan takut Neraka saja, bukan karena mengharap cinta Allah dan takut pada murka Allah.
Sesungguhnya saya tidak menjumpai konsep pemisahan antara cinta Allah dan Surga serta antara murka Allah dan Neraka kecuali dalam agama Sufi. Rasulullah, Para Shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidaklah pernah dipusingkan dengan pembedaan tersebut seperti orang-orang Sufi memusingkannya. Maka di antara mereka para Shahabat, dan orang-orang shalih ada yang menangis dan pingsan ketika mendengar mengenai Surga dan Neraka. Mereka begitu berharap akan Surga dan takut pada Neraka. Tapi apakah berarti mereka tidak cinta dan takut pada Allah?
Rasulullah juga memerintahkan kita untuk berlindung dari siksa kubur, siksa neraka, mengharap akan Surga, mengharap akan Ridha Allah. Semua Rasulullah sebutkan tanpa membeda-bedakan. Kalau memang kita tidak berhak untuk takut pada neraka, berarti Rasulullah telah melakukan hal yang sia-sia ketika beliau memerintahkan kita untuk mengulang-ulang doa setelah shalawat pada saat duduk tawarruk di akhir shalat. Sungguh kezaliman besar pada sunnah Rasul.
Intinya adalah kita tidak usah dipusingkan dengan pembedaan antara Surga Neraka, Ridha dan Murka Allah. Surga adalah perwujudan masyiah (kehendak) Allah atas Ridha-Nya. Neraka adalah perwujudan masyiah Allah atas murkanya. Kalau seseorang ingin masuk Surga dan menghindar dari Neraka, pada hakikatnya dia sedang berlari meninggalkan Murka Allah menuju Ridha Allah.
Lagi pula sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada pembuktian ilmiah bahwa fenomena orang yang beribadah semata hanya karena mengharap surga dan menghindar dari neraka saja. Sepanjang pengetahuan saya tentang ulama-ulama sholih dan atsar-atsar (peninggalan) mereka, tidak ada di antara mereka yang membeda-bedakan secara khusus, ini untuk Allah, ini untuk surga, ini untuk neraka, kecuali sedikit sekali di antara sufiyyun yang tidak bisa digolongkan sebagai ulama dan sholihin. Para ulama ahlussunnah itu dalam beribadah, mereka beribadah saja, mereka mengharap ridha Allah, mereka meminta surga dan berusaha menghindar dari neraka. Sebegitu simpel, lalu mengapa harus dipersulit dengan putaran lidah penganut filsafat sufi?
Saran saya untuk kita semua Pelajarilah Islam dari Al Qur’an dan Assunnah seperti apa yang dipahami oleh generasi terbaik Islam, para Shahabat, Tabiin dan tabiut Tabiin. Berinteraksilah dengan pemahaman-pemahaman mereka melebihi intensitas kita dalam mempelajari logika dan Astronomi. Jauhilah pemahaman-pemahaman baru dalam hal Agama. Sebegitu mudah, lalu mengapa kita harus mencampur adukkan yang simpel dengan kerumitan filsafat sufi?
Logika dan ilmu pengetahuan kita bukanlah tempat yang pas untuk mengeksplorasi hal-hal yang ghoib. Dalam hal ini kita harus secara murni dan konsekuen memakai nash. Gunakan logika dan ilmu pengetahuan hanya sampai tingkat tadabbur akan penciptaan Alam ini dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang mampu menciptakan semua ini (seperti yang yang telah dituntunkan oleh Nash-nash tentang tadabbur), yaitu tentang begitu besarnya matahari, begitu luasnya tata surya, bima sakti dan lain-lain. Dan dari semua itu timbulkan rasa takut pada Allah, pada murka Allah dan rasa takut dijatuhkan ke Neraka karena murka Allah.
Teori sains bersifat relatif. Sesuatu yang saat ini seolah seperti kebenaran yang nyata, bisa jadi kelak akan dibantah dengan bukti yang lebih kuat. Pengetahuan sains manusia tentang alam semesta ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh para astronom, baru mencapai satu persen dari total alam semesta ini. Masih ada 99 persen alam semesta ini beserta fenomenanya yang belum terjamah ilmu pengetahuan manusia. Lalu apakah kita hendak menggunakan yang satu persen itu dan yang relatif itu, untuk mengeksplor dan bahkan menjustifikasi sesuatu yang secara absolut diungkapkan dalam nash-nash agama?Bagaimana mungkin yang relatif menentukan yang absolut. Bagaimana mungkin yang nisbi menentukan yang mutlak.
Yang perlu kita lakukan adalah tetapkan saja Surga dan Neraka seperti apa yang Allah katakan, yang Rasulullah katakan, dan yang para Shahabat pahami. Tetapkan itu dalam keimanan kita sebagai sesuatu yang MUTLAK pasti akan kita alami, persis seperti apa yang Allah katakan, Rasulullah katakan dan para Shahabat pahami. Kemudian ketika kita belajar sains, tentang segala macam teorinya. Gunakan semua itu untuk merenungi kebesaran Allah dan menimbulkan rasa takut pada-Nya. Seperti itulah sikap yang Insya Allah terbaik bagi kita.




BAB II
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan

Dengan kita mempelajari tentang kehidupan manusia menurut Islam, dihaapkan dapat menjadikan hidup kita lebih optimis, selamat di dunia dan akhirat. dan kita sebagai manusia tahu bahwa setelah kehidupan di dunia ada kehidupan yang sesungguhnya yaitu kehidupan dunia akhirat dan kegidupan setelah hari kiamat. Dan bagi orang yang sholeh yang belum berhasil mencapai kebahagiaan hidup di dunia maka, ia yakin bahwa hal itu akan tercapai di akhirat. Dengan demikian apapun yang dialami dalam kehidupan dunia ini tidak akan menimbulkan kekecawaan. Dan percayalah bahwa hari akhir itu kekal.

  1. B.     Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Anonim. 2011. Kehidupan Akhirat (online) (http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-     islam/hikmah/11/03/16/169814-kehidupan-akhira) Diakses tanggal 14 November 2012
Anonim. 2012. Terhyata Akhirat Tidak Kekal. (online) (http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/07/08/agus-musthofa-ternyata-akhirat-tidak-kekal/) Diakses tanggal 14 November 2012
Faizin. 2007. Bantahan terhadap Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal. (online) (http://faidzin.wordpress.com/2007/09/04/bantahan-terhadap-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal-karangan-agus-mustofa/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar